Biografi KRT.Poerwonagoro
KYAI AGENG MOELJOSANI SANG LEGENDA
Lahir Bagelen 1790 M, Wafat Kedungsugu 1872 M
Oleh :
Prof.Dr.KPH.Adipati Teguh Purwoadiningrat,M.Pd
KPP.Ariyo Purbodiningrat,SE
KRH.Wiryo Huboyo
KRHT.Kukuh Purwoadisewoyo
RT.Romelan
PENDAHULUAN
Kyai Ageng atau Ki Ageng Moelyosani bernama asli Kangjeng Raden Toemenggoeng (KRT) Poerwonagoro. Beliau ialah kerurunan ke-7 dari Panembahan Batoro Katong Adipati Ponorogo. Batoro Katong menjadi Adipati Ponorogo pada 1489-1532M, memerintah selama 74 tahun. Ketika Batoro Katong wafat, Demak diperintah oleh Sultan Trenggono (1521-1546M). Jadi Batoro Katong memerintah sejak zaman Raden Patah (1478-1518M) sampai awal pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546 M).
Karena bermukim di dusun Kedungsugu, Ki Ageng Moelyosani juga dikenal dengan nama Ki Ageng Kedungsugu. Kedungsugu awalnya bukan nama daerah, tetapi di wilayah tempat Ki Ageng Moelyosani tinggal untuk berdakwah, terdapat sungai yang memiliki kedung yang menukik tajam. Kedung yang menukik tajam tersebut dalam bahasa Jawa disebut dengan nama “sugu”. Dari sini kemudian nama daerah pemukiman beliau itu disebut Kedungsugu. Sekarang Kedungsugu menjadi salah satu Perdukuhan di Desa Winong, Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
Ki Ageng Kedungsugu lahir di Begelen, Purworejo, Jawa Tengah pada 13 Ruwah 1790M atau Rabu Legi, 28 April 1790 M. Beliau ialah saudara beda ibu dari Adipati Ponorogo saat itu yaitu RT Subroto. Beliau adalah cicit dari istri Batoro Katong keturunan Adipati Banyumas. Pada saat itu, beliau ialah ulama yang secara konsisten bersikap keras melawan penjajah Belanda. Sebagai ulama, beliau dikenal dengan nama Kyai Ageng Moelyosani. Dengan demikian beliau memiliki tiga sebutan, yaitu KRT. Poerwonagoro, Ki Ageng Kedungsugu dan Ki Ageng Moelyosani.
Perjalanan beliau ke Kedungsugu dilakukan karena upaya perlawanan terhadap penjajah Belanda dan dalam rangka syiar Islam di wilayah Kedungsugu. Daerah dakwahnya meliputi Kedungsugu, Desa Bantengan, Sukorejo, Winong, Dermosari, Pucanganak, Nglinggis sampai perbatasan Ponorogo ke arah Barat dan Gondang, Nglongsor, Ngepeh, Tumpuk, Pule sampai Trenggalek sekarang. Selain untuk dakwah, Kedungsugu juga tempat untuk menyusun perlawanan melawan Belanda.
Beliau sampai di Kedungsugu pada 1 Ramadhan 1813M atau Sabtu Kliwon, 28 Agustus 1813 M dalam usia 26 tahun saat perlawanan terhadap Belanda di Keraton Yogyakarta mulai bergerak. Perlawanan terhadap Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro kemudian meletus pada 1825M-1830M. Tiba di Kedungsugu beliau disertai istrinya yaitu Nyi Ageng Larasati yang asli putri keturunan Kyai Ageng Besari, Tegalsari, Jetis Ponorogo.
Sampai di Kedungsugu, beliau bersama pengikutnya mendirikan masjid untuk pusat dakwah. Pembangunan masjid sengaja dimulai pada pada Jumat Legi, 23 November 1813M itu juga. Masjid selesai dibangun 2 tahun kemudian yaitu pada tahun 1815M atau Rabu Kliwon, 26 Juli 1815 M. Masjid tersebut saat ini diberi nama Masjid Ki Ageng Kedungsugu dan dikelola oleh keturunan beliau yang bertindak sebagai Kiyai.
Ki Ageng Kedungsugu wafat di Kedungsugu, tanggal 2 Rabiul Awal (Maulud) tahun 1872M atau Jumat Kliwon, 10 Mei 1872 M dalam usia 82 tahun. Beliau dimakamkan di Pajimatan Kedungsugu yang merupakan makam keluarga yang terletak di depan Masjid Kedungsugu. Adapun Nyi Ageng Larasati yang selalu mendampingi perjuangan Ki Ageng, wafat pada 1880M, delapan tahun kemudian, dan dimakamkan di Jetis Ponorogo. Ki Ageng Kedungsugu memiliki tiga perjalanan penting pada hari pasaran Kliwon, dan kelahiran pada hari pasaran Legi.
RINGKASAN RIWAYAT HIDUP :
1.Lahir di Begelen, Purworejo, Jawa Tengah
Rabu Legi, 28 April 1790 M
2.Datang di Kedungsugu
Sabtu Kliwon, 28 Agustus 1813 M
3.Masjid Ki Ageng Kedungsugu selesai dibangun
Rabu Kliwon, 26 Juli 1815 M
4.Wafat di Kedungsugu dimakamkan di Pajimatan
Kedungsugu
Jumat Kliwon, 10 Mei 1872 M
LEGENDA DAN SEJARAH
Tubuh Dipotong-potong Menyatu Kembali
Sejarah Ki Ageng Kedungsugu tercatat cukup heroik. Pada saat beliau masih di Kadipaten Ponorogo sebagai keluarga bangsawan, beliau dikenal sebagai sosok yang alim yang selalu melawan kedaliman penjajah Belanda. Karena itu, Belanda pernah melakukan percobaan pembunuhan. Pertama, Belanda meminta bantuan kerabat Ki Ageng Kedungsugu untuk memberi racun pada minuman beliau. Minuman sudah diminum, tetapi atas hidayah Allah racun tersebut tidak mempan. Kedua, Belanda kemudian melakukan pembunuhan secara langsung. Konon, di Ageng Kedungsugu berhasil ditangkap dan tubuhnya dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Kepala, kedua tangan, kedua kaki dipotong-potong. Allah berkehendak, Ki Ageng Kedungsugu tidak meninggal, bagian tubuh yang dipotong-potong menyatu kembali atas ijin Allah. Beliau memang dikenal memiliki Aji Pancasona yang bisa menyatukan kembali bagian tubuh yang dipotong-potong asalkan masih menyentuh tanah dan jasad bisa hidup kembali atas ijin Allah. Peristiwa itu terjadi antara bulan Juli 1813M sebelum beliau akhirnya mengungsi ke Kedungsugu.
LEGENDA BAJUL KEDUNGSUGU
Untuk menyelamatkan diri dari kejaran Belanda, atas saran keluarga, Ki Ageng Kedungsugu melarikan diri ke arah timur Ponorogo, yang akhirnya sampai di Kedungsugu pada hari Sabtu Kliwon, tanggal 28 Agustus 1813M diikuti istri beliau Nyi Ageng Larasati dan beberapa pengikut setia. Setelah bermukim selama kurang lebih tiga bulan, Ki Ageng Kedungsugu mendirikan masjid yang dimulai pada Jumat Legi, 23 November 1813M itu juga, dan selesai dibangun pada Rabu Kliwon, 26 Juli 1815M, dua tahun setelah bermukim. Masjid itu kelak disebut Masjid Ki Ageng Kedungsugu dan sebagai ulama beliau diberi gelar Ki Ageng Moelyosani.
Kondisi lingkungan tempat bermukim Ki Ageng Kedungsugu berada di tepi sungai anak cabang Bengawan Solo dan ladang yang subur. Pada musim hujan, air sungai meluap bahkan banjir, tetapi pada musim kemarau, air sungai mengering. Namun sepanjang musim, ada kedung yang tidak pernah kering yang berada di pojok sungai bersebelahan dengan masjid. Kedung tersebut menukik tajam dan dalam. Kedung yang menukik tajam itu dalam bahasa Jawa disebut dengan “sugu”. Karena itu, daerah kedung itu terkenal dengan sebutan Kedungsugu. Di dalam kedung tersebut hiduplah seekor buaya atau bajul besar yang suka memangsa manusia yang mandi di sungai atau binatang ternak kambing, sapi dan kerbau yang berkeliaran di sekitar sungai.
Alkisah, keganasan buaya Kedungsugu yang panjangnya antara 3 meter semakin meresahkan warga terutama para pengikut dan santri Ki Ageng Kedungsugu sehingga Ki Ageng Kedungsugu melakukan upaya untuk menundukkan buaya buas tersebut. Pada suatu siang yang sudah ditentukan, Ki Ageng Kedungsugu melakukan ritual memanggil buaya dan para pengikut beliau berjaga-jaga dengan membawa tumbak, pedang dan tali untuk mengikat buaya. Tidak lama setelah ritual, sang buaya keluar dan langsung menyerang Ki Ageng. Pergulatan terjadi, gulung menggulung sehingga air sungai bermuncratan. Setelah pergulatan terjadi beberapa waktu, buaya tersebut melemah, dan semakin melemah sampai tidak punya daya. Buaya akhirnya jatuh terkulai tidak mampu memberi perlawanan. Buaya telah dikalahkan oleh Ki Ageng Kedungsugu. Buaya tersebut kemudian diikat dan ditarik keluar sungai oleh para pengikut Ki Ageng untuk dibawa ke daratan sekitar masjid. Buaya tersebut kemudian dibunuh. Sejak itu, nama Kedungsugu menjadi terkenal dan Ki Ageng yang sehari-hari dikenal dengan nama Kyai Moelyosani, mendapat gelar baru Ki Ageng Kedungsugu.
BANTENG GUNUNG BUARAN : ASAL-USUL DESA BANTENGAN
Di seberang sungai Kedungsugu di sebelah selatan, terdapat hamparan bukit menuju Gunung Bunaran yang dihuni banyak banteng liar dan binatang buas lainnya. Wilayah gunung Bunaran tersebut merupakan hutan yang dipenuhi semak-semak belukar, sebagian berupa ladang untuk menanam ketela pohong dan sayur-sayuran oleh pengikut Ki Ageng Kedungsugu. Sebagian lainnya digunakan untuk menanam padi.
Alkisah, setelah menundukkan Bajul Kedungsugu, Ki Ageng Kedungsugu kemudian membuka hutan Gunung Bunaran sebagai pemukiman dan wilayah pertanian yang subur. Untuk itu, banteng liar dan binatang buas lainnya seperti ular, macan dan anjing hutan yang sering mengganggu penduduk dan menjadikan Gunung Bunaran angker dan berbahaya juga ditundukkan. Karena beliau menguasai ilmu menundukkan binatang buas seperti mukjizat Nabi Sulaiman, banteng-banteng liar ditundukkan menjadi jinak dan menurut perintah Ki Ageng Kedungsugu. Begitu juga macan, ular dan anjing hutan yang sangat buas, berhasil ditundukkan dan dialihkan ke wilayah hutan yang masih belum berpenghuni. Pada musim tanam padi dan tanam polowijo banteng-bateng liar tersebut bahkan digunakan untuk membajak sawah sebagai pengganti kerbau. Banteng dan binatang buas lainnya dipanggil oleh Ki Ageng Kedungsugu dengan cara “bersiul”. Wilayah tempat banteng liat ditundukkan dan digunakan untuk membajak sawah dan ladang tersebut sekarang disebut dengan desa Bantengan.
KESEJARAHAN KYAI AGENG KEDUNGSUGU
Kesejarahan Ki Ageng Kedungsugu bisa dilihat dari manuskrip yang tersimpan di Keraton Surakarta dan bisa dilacak dari cerita tutur di masyarakat. Selain itu, kesejarahan Ki Ageng Kedungsugu bisa dilihat dari peninggalan beliau yaitu: Masjid Ki Ageng Kedungsugu, di Dusun Kedungsugu, Desa Winong, Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek. Saat ini pemukiman tempat Ki Ageng Kedungsugu berdakwah semasa hidup masih dihuni oleh anak-curu keturunan beliau yang sekarang sudah mencapai generasi ke-4 (anak, cucu, buyut, cicit). Masjid Kedungsugu dikelola berturu-turut oleh anak pertama Ki Ageng Kedungsugu yaitu Kiyai Ismakun (1872-1952). Setelah Kiyai Ismakun wafat, masjid dikelola oleh putra beliau yaitu Kiyai Kasbit (1952-2008). Kiyai Kasbit wafat pengelolaan masjid dilanjutkan oleh putra beliau yaitu Abu Dawud (2008-2012). Kiyai Abu Dawud karena kesibukannya tidak bisa melanjutkan tugas sebagai kiyai, sehingga pengelolaan masjid diserahkan kepada Kiyai Miseran (2012 sampai sekarang), putra salah satu tokoh setempat pengikut setia Ki Ageng Kedungsugu.
Data pada manuskrip keraton dan silsilah keluarga yang disiman oleh keturunan Batoro Katong Ponorogo, keluarga adipati Trenggalek, dan Keraton Surakarta yang berhasil dibaca dan diterjemahkan oleh Kanjeng Pangeran Panji Ariyo Purbodiningrat mencatat dengan lengkap riwayat Ki Ageng Kedungsugu. Manuskrip juga diperoleh dari museum Leiden Belanda yang berhasil diakses. Hasil pembacaan menunjukkan Ki Ageng Kedungsugu lahir pada Rabu Legi, 28 April 1790M, datang di Kedungsugu pada Sabtu Kliwon, 28 Agustus 1813, Masjid selesai dibangun pada Rabu Kliwon, 26 Juli 1815M, dan wafat di Kedungsugu pada Jumat Kliwon, 10 Mei 1872M. Ki Ageng Kedungsugu juga mengajarkan tradisi garebeg Maulud, Garebeg Syawal dan Karebeg Syuro yang selalu dilaksanakan di masjid sebagai penghormatan terhadap leluhurnya Sri Susuhunan Paku Buwono I dari Keraton Surakarta.
Ki Ageng Kedungsugu bisa disebut sebagai manusia enam jaman dan mengalami masa pemerintahan enam raja yang berbeda-beda. Kerajaan yang hidup saat itu ialah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yoygayakarta. Keenam raja tersebut ialah: (1) Paku Buwono IV (1768-1820M), (2) Paku Buwono V (1820-2823M), (3) Paku Buwono VI (1823-1830M), (4) Paku Buwono VII (1830-1858M), (5) Paku Buwono VIII (1858-1861M), dan (6) Paku Buwono IX (1861-1893M). Pada masa itu, yang memerintah sebagai Adipati Ponorogo ialah RT Subroto, saudara Ki Ageng Kedungsugu beda Ibu, dan Adipati Trenggalek ialah Mangundirono. Saat itu penjajahan Belanda dan VOC sedang gencar-gencarnya merebut wilayah di seluruh Jawa, dan kabupaten Ponorogo serta kabupaten Trenggalek berada dalam cengkeraman Belanda. Beliau juga menjadi target pembunuhan Belanda dan beliau dikejar-kejar untuk dibunuh sehingga beliau melarikan diri ke Kedungsugu.
Sejarah Trenggalek mengalami pasang surut setelah Bupati I Sumotruno memerintah pada 1743M sampai setelah perang Pangeran Diponegoro berakhir pada 1830M. Bupati Sumotruno menjabat Bupati Trenggalek pertama sebagai hadiah dari Paku Buwono II karena Adipati Ponorogo Mangundirono berhasil menundukkan pemberontakan Sunan Kuning di Kerajaan Surakarta yang menyebabkan Paku Buwono II melarikan diri di Ponorogo. Namun tidak lama Bupati Sumotruno memerintah, terjadi perang antara Paku Buwono III dan adiknya Pangeran Mangkubumi. Pemberontakan itu berakhir dengan perjanjian Giyanti pada 1755M yang menghasilkan kesepakatan Kerajaan Surakarta dipecah menjadi 2, yaitu Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Perjanjian Giyanti menyebabkan wilayah kekuasaan Kasunan Surakarta dibagi menjadi dua bagian yang disebut wilayah manca negara dengan tiap kerajaan mendapat 12 wilayah. Adapun wilayah di luar yang 12 tersebut menjadi wilayah kekuasaan penjajah Belanda .
Pada 1830M setelah perang Pangeran Diponegoro berakhir dengan kemenangan Balanda, wilayah Surakarta dan Yogyakarta diambilalih Belanda. Kabupaten Trenggalek dihapuskan dan menjadi satu dengan Ponorogo. Yang memerintah Trenggalek ialah Asisten Residen Hindia Belanda. Pada saat-saat genting seperti inilah perjuangan Ki Ageng Kedungsugu terjadi sehingga beliau menjadi pengawasan Belanda. Bupati yang memerintah bukan lagi diangkat oleh Sinuhun Paku Buwono tetapi ditunjuk oleh Belanda.
Pada 1885, ditentukan batas-batas wilayah kabupaten oleh Gubernur Hindia Belanda berdasarkan SK Gubernur Jendral tanggal 30 Mei 1885
No. 4/C tentang batas-batas Toelong Agoeng, Trenggalek, Nganjoek, dan Kertosono dan Staatsblad van Nederlanch Indie No, 107, tanggal 4 Juni 1885. Trenggalek dihidupkan kembali dan Bupati yang memimpin Trenggalek ditunjuk oleh Belanda.
PENUTUP
Risalah Ki Ageng Kedungsugu ini merupakan catatan keluarga Ki Ageng Kedungsugu yang disusun dalam jangka waktu yang cukup panjang sejak 1990an. Sumber sejarah primer diperoleh dengan wawancara keturunan beliau dari generasi ke-3 dan generasi ke-4 yang masih hidup, pengecekan peninggalan sejarah di situs utama di Kedungsugu dan sumber sekunder berupa manuskrip yang masih tersimpan di keluarga Ki Ageng Kedungsugu di Ponorogo, keluarga di Trenggalek dan keluarga di Begelen Purworejo, Jawa Tengah. Sumber sekunder juga digali dari Karaton Surakarta Hadiningrat atas ijin Sinuhun KGPH Panembahan Agung Tedjowulan. Manuskrip yang ditulis dalam huruf Arab gundul, huruf Jawa Kuno, berbahasa Jawa Kuno serta bahasa Belanda tersebut berhasil dibacakan dan diterjemahkan oleh sentono dalem canggah Paku Buwono IX,cucu Paku Buwono X yaitu KPP Ariyo Purbodiningrat. Manuskrip juga dilengkapi dengan keterangan dari catatan Belanda yang tersimpan di museum Leiden Belanda.
Kesejaharan Ki Ageng Kedungsugu atau Kyai Moelyosani bersifat heroik, legenda dan sejarah yang bisa memberi kekayaan lokal sejarah Trenggalek dan Ponorogo. Dari dusun Kedungsugu yang sepi dan berada di wilayah yang tidak pernah diperhitungkan, ternyata ditemukan saksi bisu sejarah asal-usul dusun Kedungsugu dan desa Bantengan. Di Kedungsugu juga tersimpan saksi sejarah perjuangan melawan Belanda dan syiar Islam ketika zaman penjajah Belanda sedang berlangsung sangat kejam. Rekonstruksi sejarah Ki Ageng Kedungsugu juga sedang dilakukan untuk menyusun biografi Ki Ageng yang penelusurannya sedang dilakukan oleh keturunan ke-4 Ki Ageng Kedungsugu, yaitu Prof. Dr. Kangjeng Pangeran Haryo Adipati Teguh Poerwoadiningrat. Peninggalan sejarah yang masih terawat dengan baik meliputi: Masjid Ki Ageng Kedungsugu, Pajimatan (Makam) Keluarga, pusaka berupa Keris dan Tombak, dan pemukiman keturunan Ki Ageng Kedungsugu di sekitar masjid dan makam keluarga.
SURAKARTA, 12 JANUARI 2019
Tim Penyusun sejarah dari Karaton Surakarta Hadiningrat
Penasihat :KGPH Panembahan Agung Tedjowulan (Sinuhun Panembahan Agung Tedjowoelan)
Ketua :Prof. Dr. KPH.Adipati Teguh Purwoadiningrat, M.Pd
Anggota :KPP.Ariyo Purbodiningrat,SE
KRH Wiryo Huboyo
KRHT.Kukuh Purwoadisewoyo
RT.Romelan